Divergent Conservation: Opini
April 24, 2025Masalah sudah ada di dunia, barangkali sejak manusia tercipta. Dalam pemikiran saya, tidak ada masalah tunggal di dunia ini. Suatu masalah tampak sederhana kalau kita melihat dari satu sudut pandang saja. Cobalah melihat dari beberapa sudut pandang, akan segera tampak bahwa masalah itu tidak tunggal yang artinya tidak ada pula solusi tunggal untuk memecahkannya.
Demikian pula dalam masalah-masalah keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Solusi linear biasanya tidak cukup untuk mengurai permasalahan. Salah-salah malah memicu masalah baru. Untuk itu, saya mengusulkan sebuah konsep yang agak lain yang diharapkan menghasilkan solusi yang lebih holistik, solusi yang divergen. Saya menyebutnya "konservasi divergen".
Marilah kita sepakati dulu pemahaman mengenai konservasi divergen. Mengenai kata konservasi tentu sudah familiar dengan keseharian kita, artinya pelestarian, perlindungan, atau pengelolaan secara lestari. Dalam tulisan ini, konteksnya adalah pada sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sementara kata "divergen" artinya keadaan menyebar atau menghasilkan cabang-cabang.
Konservasi divergen bisa diartikan sebagai bentuk konservasi yang menggunakan prinsip menyebar atau bercabang, mulai dari cara memandang dan mengurai permasalahan yang menyeluruh -dari berbagai sudut, menghasilkan banyak ide solusi, dan banyak metode pendekatan. Memetakan permasalahan sampai ke akar-akarnya menjadi kunci penting. Solusi dan metode pendekatan biasanya out of the box. Ringkasnya, divergen dalam bidang konservasi meliputi paradigma (cara pandang), solusi, dan metode pendekatan.
Prinsip-prinsip yang melandasi
Untuk mencapai cara pandang, solusi, dan pendekatan divergen sebagaimana saya maksud dalam pemikiran konservasi divergen di atas, saya mencoba merangkum beberapa prinsip untuk membangun gagasan tersebut. Beberapa contoh kasus juga saya lampirkan.
Pertama, paradigma holistik-sistemik. Sosok fisikawan sekaligus filsuf lingkungan Fritjof Capra sangat mempengaruhi pemikiran ini. Ia menganjurkan sesuatu yang disebutnya “ekoliterasi” sebagai pegangan hidup manusia. Sederhananya ialah pemahaman kita yang mendalam mengenai apa dan bagaimana alam bekerja. Ada beberapa prinsip dalam ekoliterasi: interdependensi, keragaman, daur ulang, kemitraan, dan fleksibilitas.
Prinsip penting di alam atau lebih tepatnya ekosistem adalah interdependensi. Ekosistem disusun oleh komponen abiotik seperti tanah, air, udara, dan banyak sekali makhluk hidup sebagai komponen biotik. Setiap komponen saling berinteraksi satu sama lain menciptakan koneksi yang sedemikian rumit. Keragaman menjadi karakter utama pada ekosistem. Untuk menjaga kesehatan ekosistem, kita mesti menjaga keragaman di dalamnya. Satu komponen rusak mengakibatkan efek domino yang bisa jadi tidak akan sanggup dikalkulasi.
Potret hutan tropis di Bukit Barisan, contoh ekosistem yang sangat kompleks.Prinsip lain yang ada di alam adalah daur ulang. Energi utama yang menggerakkan kehidupan berasal dari matahari. Setiap makhluk hidup memiliki sistem yang otonom, menyerap energi sekaligus mengalirkan sisa energi ini ke makhluk lainnya. Istilahnya "autopoesis-disipatif". Dengan demikian, ada semacam kerja sama antar komponen alam itu sendiri.
Alam memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan kondisi dalam perkembangannya. Manusia sebagai bagian dari ekosistem mesti memahami dan menyesuaikan diri terhadap prinsip-prinsip di atas. Untuk menjamin keberlanjutan, manusia sendiri tidak bisa lepas dari mengikuti prinsip-prinsip tersebut.
Kedua, partisipatif. Ada istilah-istilah seperti community based conservation hingga community led conservation. Konsep-konsep itu bisa digunakan, pada intinya adalah partisipasi dari sebanyak mungkin anggota komunitas suatu masyarakat. Tidak perlu memperdebatkan konsep mana yang terbaik, tetapi lebih kepada bagaimana mengoptimalkannya pada suatu komunitas masyarakat. Setiap masyarakat memiliki karakter dan kondisi sosial budaya yang berbeda-beda sehingga kita tidak bisa memaksakan suatu konsep tertentu pada suatu masyarakat tertentu.
Beberapa kata kunci penting yang bisa dijadikan pegangan dalam membangun prinsip partisipatif antara lain: inklusif, demokratis, adil, persuasif. Gerakan konservasi mesti terbuka bagi siapa saja (lintas gender, jabatan, kelompok usia), sifatnya menjaring aspirasi bottom-up, memberikan manfaat yang adil bagi para pelakunya, dan secara persuasif mengajak keterlibatan sebanyak mungkin anggota masyarakat. Saya pernah merangkum contoh konservasi berbasis masyarakat, bisa dibaca di sini.
Ketiga, konservasi yang terdesentralisasi. Tak bisa dimungkiri bahwa banyak permasalahan lingkungan hidup bersifat global, seperti perubahan iklim, deforestasi, dan kepunahan massal. Namun, cara-cara penanganannya bisa dimulai dari skala kecil-kecil. Setiap wilayah punya potensi dan tantangannya masing-masing. Oleh karena itu, gerakan konservasi juga perlu disesuikan dengan konteks lokal. Batasannya bisa sangat variatif. Bisa berbasis ekoregional, bioregional, skala lansekap, atau bahkan pada lingkup administratif yang kecil, misalnya desa.
Desa Ramah Burung Jatimulyo di Kulonprogo, contoh keberhasilan konsevasi berbasis masyarakat desa.Di Indonesia, kalau kita mengacu pada Undang-Undang Desa, ada kewenangan yang cukup besar bagi desa dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya. Maka gerakan-gerakan konservasi berbasis desa atau komunitas-komunitas di dalamnya menjadi peluang besar ke depannya. Desa Ramah Burung yang diinisiasi masyarakat Desa Jatimulyo bisa menjadi contoh bagaimana konservasi keanekaragaman hayati bisa dijalankan oleh masyarakat desa, lebih lengkap bisa dibaca di sini.
Keempat, interdisipliner. Tantangannya adalah bagaimana membangun kerjasama dalam jumlah besar. Homo sapiens bisa tumbuh menjadi spesies dominan bukan karena kelewat cerdas, atau tubuhnya kuat, ataupun lebih adaptif dibanding spesies lainnya. Namun, semata karena mereka memiliki kemampuan bekerjasama dalam jumlah sangat besar. Collective intelligence sebagai pengikatnya. Maka dengan logika yang sama, kesuksesan sebuah gerakan konservasi juga kemampuan membangun kerjasama.
Gerakan konservasi tidak bisa menggantungkan peran satu atau beberapa pihak saja, tetapi membutuhkan peran serta banyak pihak yang saling bekerja sama dan saling mendukung. Multi pihak dan lintas disiplin. Pihak-pihak itu meliputi pemerintah, akademisi, lembaga non-pemerintah/NGO, swasta, hingga masyarakat luas. Begitu pula dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan juga beragam, antara lain: biologi, ekonomi, sosial-budaya, politik, hingga ilmu-ilmu terapan seperti kehutanan, biotek, dll.
Gambaran sederhana pola kerjasama antar-disiplin ilmu misalnya sebagai berikut: ahli biologi konservasi melakukan monitoring dinamika populasi suatu spesies terancam punah dan merencanakan aksi konservasinya. Ahli ekonomi melakukan kajian mengenai aktivitas masyarakat yang berisiko terhadap lingkungan, dan mencari alternatif ekonomi lestari. Ahli ilmu sosial mempelajari struktur sosial masyarakat dan membantu mereka mengorganisir diri.
Seniman dilibatkan untuk membuat karya seni dalam rangka memasyarakatkan program-program konservasi. Masyarakat sendiri dengan pengetahuan lokal terlibat aktif dalam aksi-aksi konservasi misalnya melakukan patroli, dan mengembangkan skema ekonomi berkelanjutan seperti ekowisata. NGO membantu peningkatan kapasitas dan mencari jejaring pemasaran.
Kelima, penguatan basis kecerdasan emosional/ Emotional Intelligence (EI). Maaf kalau saya terlalu reduksionistik, tetapi realitanya menggantungkan diri hanya pada kerja-kerja intelektual berisiko membawa kita pada pandangan konservasi yang anthroposentris. Konservasi selalu berujung pada kepentingan manusia. Tidak salah dengan itu, tapi manusia cenderung punya keinginan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal itu bisa jadi masalah. Keinginan yang berubah membawa konsekuensi pada perilaku yang berubah pula. Seringkali perubahan itu tidak kita sadari hingga dampaknya bisa dirasakan.
Lagipula, sains mengungkap bahwa sebagian besar hidup kita tidak dikontrol oleh intelektualitas, tetapi lebih dominan pada emosi. Tidak semua orang mau dan atau mampu menalar sesuatu yang rumit. EI adalah tipe kecerdasan yang bisa dilatih. Tawarannya adalah mengembangkan gerakan konservasi yang menggarap sisi kecerdasan emosional. Melatih empati, misalnya. Empati bisa mengubah cara pandang hingga perilaku manusia. Membayangkan kesedihan seekor burung yang kehilangan anaknya karena diambil pemburu, misalnya bisa membiasakan diri kita untuk tidak sembarangan membunuh atau mengusik makhluk lain.
Tari Jingkrak Sundang karya seniman Sujono Keron untuk membangkitkan empati terhadap satwa. (Dok PPM Mendolo)Kreativitas juga termasuk dalam kecerdasan emosional. Kerja-kerja kreatif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan lingkungan maupun keanekaragaman hayati yang semakin hari semakin pelik perlu terus dikembangkan. Banyak bidang bisa menjadi lahan garapannya, sebut saja: seni, pendidikan, jurnalistik, dan teknologi. Di Mendolo, sebuah desa di lereng utara Dieng, seni pertunjukan diperkenalkan sebagai pendekatan untuk membangkitkan empati masyarakat, bisa dibaca di sini.
Berusaha untuk menjadi terus relevan dengan zaman
Dewasa ini, perkembangan teknologi sedemikian cepat. Menurut sejarawan Yuval Noah Harari, kecerdasan buatan (AI) merupakan lompatan besar sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya, kecerdasan berpisah dari kesadaran (consiousness). Hal ini membawa kekhawatiran mengenai dampak yang akan kita hadapi di masa depan. Apakah akan ada dampak buruk, termasuk terhadap bumi kita ini yang hanya satu?
Kita tidak bisa memprediksi masa depan. Tetapi kita bisa mengupayakan yang terbaik bagi bumi. Termasuk menggunakan sains dan teknologi mutakhir sebagai alat bantu. Konservasi divergen berimplikasi pada penemuan koneksi-koneksi baru berbagai disiplin ilmu. Misalnya, temuan-temuan neurosains modern menurut saya sangat relevan dalam membangun pola-pola hidup berkelanjutan, misalnya pengambilan keputusan dalam memilih produk ramah lingkungan, hingga mengembangkan sikap empati terhadap makhluk hidup lain seperti contoh di atas.
By the way, opini saya dalam tulisan singkat ini pun dibangun dari hasil diskusi dengan AI. Opini ini tentu saja masih sangat dangkal dan barangkali impulsif. Sebagai catatan pula, saya tidak antipati pada pemikiran konservasi yang konvergen. Pada praktiknya, divergen dan konvergen perlu berkolaborasi. Saya sangat ingin mengembangkan gagasan ini menjadi lebih implementatif. Untuk itu saya sangat terbuka bagi siapapun untuk berdiskusi. Salam.
0 comments