Danau Toba: sebuah kesempatan kedua

Medio 2015, dalam rangkaian perjalanan trip Tanah Gayo - Sabang - Banda Aceh - dilanjutkan perjalanan darat menuju Jawa melewati jalur tenga...


Medio 2015, dalam rangkaian perjalanan trip Tanah Gayo - Sabang - Banda Aceh - dilanjutkan perjalanan darat menuju Jawa melewati jalur tengah, saya sempat melewati Danau Toba. Sebelumnya telah terbayang, panorama danau vulkanik raksasa ini bakal memanjakan mata dalam perjalanan bersama bus 'ALS' itu.

Nyatanya, kebakaran hutan yang sedang merajalela di Sumatera kala itu, telah membuyarkan harapan. Sore yang muram itu, saat bus raja jalanan lintas Sumatera melalui tepian danau, hanya ada kabut asap di mana-mana. Bahkan, garis tepian danau terbesar di Indonesia ini pun hanya tampak samar-samar.

Hampir sepuluh tahun berlalu, saya kembali ke Danau Toba, tepatnya akhir November 2024 kemarin. Kali ini, dalam situasi yang jauh lebih baik. Memang tidak lama, bahkan bisa dikatakan sekadar lewat, tapi cukup banyak pengalaman baru di sana.

View dari hotel malam vs siang.

Saya bersama rombongan tiba di Parapat pada malam hari, lalu memilih salah satu hotel yang lokasinya persis di pinggir danau. Untuk sebuah hotel yang sederhana, view yang ditawarkan sangatlah istimewa. Air danau yang terhampar berkilauan memantulkan cahaya, dan Pulau Samosir menghias di belakangnya.

Paginya, kami mengunjungi taman kera di Sibaganding. Bapak yang biasa memanggil siamang sedang tidak di tempat. Di lokasi ini, banyak juga monyet beruk yang berkeliaran. Kami sangat beruntung karena tak lama kemudian, datanglah sekeluarga siamang. Semakin mendekat, hingga kami semua cukup puas mengabadikan momen tersebut. 

Target selanjutnya berburu naniura, makanan sejenis shasimi khas batak toba. Kami bertanya ke beberapa warung dan semuanya sedang kosong. Ada yang menyarankan untuk mencari warung di daerah Laguboti. Kami pun bertolak ke sana. Kebetulan, tujuan kami selanjutnya adalah Sipirok di Tapanuli Selatan.

Aneka kuliner khas Toba.

Dan benar saja, di Laguboti - dekat kota Balige, kami menemukan warung itu dengan makanan khas batak yang lengkap: naniura, arsik, dali (putih&arsik), dan tombur (sambal andaliman). Rasa unik dari makanan-makanan itu adalah rempah yang kuat (kecuali dali putih yang merupakan semacam yogurt dari susu kerbau). Kemungkinan rempah dominannya adalah andaliman.

Andaliman adalah buah kecil, menyerupai merica makanya disebut pula merica batak, dari pohon Zanthoxylum sp. Meskipun menyerupai merica, tanaman ini tergolong suku Rutacea, masih keluarga jeruk-jerukan. Ada sedikit kesan aroma jeruk juga, dan rasanya lumayan pedas. Dalam perjalanan selanjutnya, kami sempat mampir di Pasar Balige dan menjumpai buah ini banyak di jual di sana.

Dari Parapat sampai Balige adalah perjalanan yang cukup panjang, dan sepanjang itu pula kami menyusuri tepian Danau Toba. Itupun baru sebagian kecil dari tepiannya. Saya kesulitan membayangkan betapa luasnya danau kaldera ini. Hingga lamunan saya menjelajah ke 70.000 tahun yang lalu. Seketika saya merinding mencoba mengimajinasikan ledakan supervolcano kala itu, tremendum et fascinosum...

You Might Also Like

0 comments