Kembali menyapa si matakecil

Laba-laba matakecil, individu dewasa. Bulan Agustus kemarin, pada puncak musim kemarau - setelah sekian purnama, saya kembali masuk gua alia...

Laba-laba matakecil, individu dewasa.

Bulan Agustus kemarin, pada puncak musim kemarau - setelah sekian purnama, saya kembali masuk gua alias caving. Bila dihitung dari penelusuran gua sebelumnya, kurang lebih dua tahun sudah saya vakum. Kalau dirunut lebih lama lagi dari masa-masa aktif, maka sudah sepuluh tahun. Kala itu, tahun 2014 menjadi salah satu tahun teraktif bagi saya sebagai penelusur gua.

Saya memang tidak pernah mendeklarasikan diri untuk pensiun dari dunia perguaan. Apa yang saya cari pada penelusuran bulan kemarin merupakan alasan utamanya. Ialah Amauropelma matakecil, jenis laba-laba obligat gua endemik Pegunungan Menoreh yang bisa dibilang sudah menjadi bagian dari hidup saya. "Matakecil" mestinya jadi nama tengah saya, namun terasa kurang pas karena mata saya yang belo dan sayu ini. Anyway, rasanya ingin terus memberikan kontribusi bagi upaya mengungkap spesies unik tersebut, entah sekecil apapun itu.

Bersama doktor Cahyo Rahmadi, peneliti biota gua dari BRIN sekaligus guru silat caving saya, kami mengeksplorasi dua gua di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo. Misi penelusuran kali ini adalah mengoleksi spesimen untuk kebutuhan riset yang lebih spesifik, dan (kalau beruntung) mendapatkan spesimen jantan dari jenis laba-laba yang hanya diketahui dari individu betina ini.

Perjalanan menuju habitat matakecil


Si laba-laba endemik nan unik

Laba-laba yang kini mulai akrab dipanggil si matakecil ini pertama kali saya koleksi spesimennya pada tahun 2009, lalu kira-kira tiga tahun setelahnya dipublikasikan menjadi spesies baru dengan nama Amauropelma matakecil (Miller & Rahmadi 2012). Nama matakecil merujuk pada kedelapan mata yang mereduksi ekstrim hingga tampak seperti bintik-bintik kecil. Dengan begitu, laba-laba dengan panjang tak lebih dari satu centimeter ini menunjukkan karakter troglomorfik yang kuat. Troglomorfik ialah karakter yang merepresentasikan tingkat adaptasi tinggi terhadap lingkungan gua, seperti reduksi mata dan depigmentasi.

Laba-laba matakecil tercatat di empat gua saja dan hanya dapat dijumpai di ujung-ujung lorong gua, tepatnya di zona gelap total dengan kondisi klimatis yang relatif stabil (zona stagnan). Habitat yang disukai adalah substrat basah dan udara yang super lembab, biasanya dekat dengan genangan air atau aliran sungai kecil. Populasi laba-laba endemik inipun kemungkinan terbatas, karena biasanya hanya 5-10 individu dapat dijumpai dalam satu kali pengamatan.

Karena karakter troglomorfik yang kuat dan sebarannya yang hanya terbatas di habitat gelap total, laba-laba dengan warna tubuh yang cokelat pucat ini dikategorikan sebagai troglobion. Kelompok biota ini bernilai tinggi bagi ilmu pengetahuan, misalnya dari potensinya menambah khazanah pemahaman kita tentang proses evolusi makhluk hidup. Bagaimana organisme bisa mengembangkan kemampuan adaptasi untuk bertahan dalam lingkungan yang penuh tekanan hingga berkembang menjadi spesies baru, bisa terjawab dengan mempelajari spesies-spesies troglobion. 

Habitat spesifik laba-laba matakecil.

Tekanan lingkungan di dalam gua yang dimaksud, antara lain: kondisi gelap total, kelembaban yang sangat tinggi, minimnya environmental cues (seperti perubahan siang malam dan perubahan musim yang dijumpai di luar gua), gas-gas mematikan, minimnya nutrien, atau bahkan kondisi becek dan licin yang menyulitkan mobilitas (Howarth 1993). Tekanan lingkungan ditanggapi dengan adaptasi; baik secara morfologis, fisiologis, maupun tingkah laku. Dengan kata lain, tekanan lingkungan merupakan kekuatan evolusioner dalam memunculkan jenis-jenis troglomorf. 

Troglobion berevolusi secara progresif dalam mengembangkan organ-organ sensoris seperti pemanjangan antena pada jangkerik, rambut trichobotria pada laba-laba, dan sensor gurat sisi pada ikan. Di lain sisi, kondisi lingkungan yang demikian juga menghasilkan proses evolusi regresif yang ditandai dengan mereduksinya organ-organ yang tidak penting seperti mata dan sayap. Organisme gua juga menunjukkan kecenderungan paedomorf, yaitu mempertahankan bentuk juvenile-nya. Jika spesies yang telah sepenuhnya adaptif tidak lagi ditemukan di lingkungan luar gua, maka proses pemunculan spesies troglobion telah berjalan sempurna. 

Fluktuasi tingkat perjumpaan

Tingkat perjumpaan laba-laba matakecil cenderung fluktuatif dari satu survei ke survei lainnya. Pada waktu-waktu tertentu, misalnya saat saya melakukan survei yang sama pada 2014, mereka sangat mudah dijumpai. Sementara pada waktu lain sangat jarang terlihat. Termasuk survei kali ini, tingkat perjumpaannya relatif kecil dibandingkan rata-rata. Saya menduga laba-laba matakecil memiliki habitat persembunyian. 

Teori yang mendukung dugaan ini disampaikan Howarth (1993). Ia mengistilahkan habitat spesifik ini sebagai mesocavern, yang merupakan rongga-rongga kecil di dalam gua. Habitat mesocavern yang bisa dijumpai di dalam ekosistem gua meliputi lubang-lubang ataupun retakan-retakan kecil pada dinding dan lantai gua, serta ruang-ruang di balik bebatuan. Merujuk pada definisi yang disampaikan Howarth, ukurannya berkisar antara 0,1 hingga 20 cm. Ukuran yang tidak memungkinkan diakses manusia.

Mesocave menjadi habitat retreat bagi laba-laba. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam persembunyian, dan keluar pada waktu tertentu, dalam rangka makan dan berkembang biak. Kondisi musim kemarau yang relatif kering barangkali membuat laba-laba memilih bersembunyi di lorong-lorong kecil sambil menikmati gorengan. Ruang-ruang kecil menyediakan habitat yang kelembabannya masih terjaga. Diperlukan survei lain pada musim penghujan. Namun, menjadi tantangan tersendiri mengingat aktivitas di dalam gua pada musim penghujan sangat berisiko. 

Seekor matakecil di depan celah sempit.

Jika menggunakan definisi dari Howarth, maka ekosistem gua menjadi jauh lebih rumit ketimbang yang bisa kita bayangkan. Tak menutup kemungkinan, lorong-lorong kecil terhubung dengan lorong-lorong lain yang tidak menyediakan akses bagi manusia untuk masuk. Bisa jadi, gua dalam perspektif ekologi itu serupa labirin-labirin yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Sayangnya, sebagian besar dari labirin-labirin itu tidak bisa diakses dan diteliti. 

Dengan karakteristik ekosistemnya yang rumit tadi, populasi biota gua menjadi sangat sulit diestimasi. Ternyata tak cuma menjadi kaya yang sulit. Apalagi pada spesies-spesies obligat, yaitu biota yang sepenuhnya bergantung pada ekosistem gua untuk bertahan hidup, seperti laba-laba matakecil. Sebaran atau distribusinya sangatlah terbatas dan seringkali berada di lorong-lorong gua yang sangat sulit diakses, atau bahkan sama sekali tidak terakses.

Lima belas tahun setelah penemuan laba-laba obligat gua dari Menoreh, ternyata masih sedikit sekali yang kita ketahui. Jantannya belum ketemu hingga saat ini. Apakah sudah cukup kita simpulkan saja jenis ini partenogenetik? Bahkan asal-usulnya pun juga masih gelap, mengingat belum ada temuan jenis laba-laba epigean (hidup di ekosistem luar gua) yang berkerabat dekat dengan si matakecil. So, exploration will never end.


You Might Also Like

0 comments