Beberapa kali mengunjungi pelosok-pelosok negeri, saya menemukan berbagai realitas yang kemudian terekam dalam memori. Salah satu ingatan yang seringkali membuat saya merasa terharu adalah kisah para petani penggarap lahan hutan. Saya selalu terbayang betapa berat perjuangan mereka di saat mereka mulai usaha pertanian dan bahkan membuka tempat tinggal. Hutan di sini bukan bermakna rimba yang masih alami dan lebat, melainkan kawasan hutan yang biasanya telah rusak oleh pembalakan, yang kemudian statusnya diubah atau melalui program pemerintah kemudian diberikan hak kelola kepada warga masyarakat.
Di salah satu pelosok Sumatera, misalnya, saya bertemu beberapa keluarga pejuang ini. Mereka pada awalnya merupakan masyarakat transmigran yang kemudian berpindah-pindah untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Di tempat ini mereka menetap dan membentuk kampung-kampung kecil, biasanya disebut talang. Dari cikal bakal kampung inilah desa-desa terbentuk. Belantara terbengkalai menjelma menjadi peradaban.
Kampung yang saya kunjungi kebetulan campuran dari masyarakat suku jawa dan bugis. Orang-orang jawa ini sebagian besar lahir di Sumatera, terutama dari Lampung. Begitu juga orang-orang bugis, sebagian lahir di Sumatera, sementara sebagian lainnya datang dari Sulawesi beberapa tahun silam. Sebagian besar berangkat dengan modal seadanya. Modal utamanya tentu saja motivasi untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik.
Di kampung ini mereka memperoleh konsesi lahan garapan untuk ditanami aneka komoditi bernilai, maupun tanaman pangan. Jangan dibayangkan bahwa bercocok-tanam di sini mudah. Banyak sekali tantangannya. Mulai dari betapa susahnya membuka semak belukar yang sangat lebat, tanah yang kurang subur, kesulitan mendapatkan bibit dan pupuk, dan serangan hama seperti babi hutan. Waktu saya di sana, sempat bertemu satu keluarga babi hutan yang terdiri dari belasan ekor. Mereka tampak gemuk-gemuk. Babi-babi liar itu bisa menghabiskan tanaman para petani hanya dalam satu malam.
Sekelompok babi hutan yang tidak tahu malu beraksi di siang hari bolong.Kalaupun berhasil mengatasi masalah-masalah itu dan bisa panen, tidak mudah memasarkannya. Pasar cukup jauh, setidaknya dua jam berkendara sepeda motor. Jalan masih sangat apa adanya jikalau terlalu jujur untuk dikatakan sebagai track offroad. Jika malam hari hujan maka bisa dipastikan esok paginya tidak akan bisa pergi kemana-mana. Akan sia-sia memaksakan menyusuri jalan-jalan itu menggunakan sepeda motor karena bisa dipastikan terperosok ke dalam lumpur yang tanahnya lengket.
Yang membuat saya merasa lebih terenyuh adalah kehidupan sehari-hari mereka yang bisa dikatakan masih jauh dari kata layak. Rumah-rumah panggung mereka sangat sederhana. Bahkan terkadang masih berupa pondokan seadanya. Sekadar melindungi dari panas dan hujan. Terutama bagi mereka yang pendatang baru. Belum ada jaringan listrik di sini. Jadi mereka yang memiliki rezeki agak lebih, biasanya memasang panel surya untuk sekedar mencukupi penerangan di malam hari. Jaringan seluler juga sangat terbatas, hanya pada lokasi-lokasi tertentu kita bisa mengaksesnya. Terkadang saya harus naik ke pohon untuk mendapatkan sinyal telepon genggam.
Tidak ada sekolah. Jadi anak-anak di kampung ini tidak mendapatkan pendidikan formal. Satu-satunya pendidikan yang ada adalah Taman Pendidikan Alquran (TPA) di masjid. Dengan fasilitas seadanya, TPA juga mengajarkan baca-tulis dan berhitung bagi anak-anak itu. Tentunya tidak ada kurikulum, tidak ada gaji bagi pengajar, dan tidak ada ijazah bagi para siswanya.
Kondisi jalan menuju desa-desa di daerah pelosok, setelah di guyur hujan.Barangkali salah satu sumber masalahnya justru pada permasalahan administratif. Karena kampung ini, dan banyak kampung yang serupa, merupakan perkampungan yang relatif baru, maka perhatian pemerintah kiranya masih kurang. Para pendatang ini bahkan terkadang belum terdata dalam sistem administrasi kependudukan setempat. Penataan administrasi dasar seperti KTP saja mulai diurus baru-baru ini.
Jika sistem administrasi penduduk saja masih belum selesai, maka tak heran jika permasalahan-permasalahan seperti fasilitas pendidikan, infrastruktur jalan, listrik, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya luput dari perhatian. Setelah administrasi dasar mulai tertata, semoga saja akan ada perbaikan di kampung-kampung itu.
Mengapa orang-orang itu tetap tabah bertahan dalam keadaan yang penuh keterbatasan? “Tidak ada pilihan lain mas,” selalu jawaban itu yang saya dapatkan. Hidup dengan membuka lahan garapan, sekaligus membangun kampung baru, menjadi satu-satunya harapan mereka untuk bertahan hidup. Mereka dengan sukarela telah mengurus lahan-lahan yang terbengkalai karena ulah keserakahan manusia-manusia lainnya. Saya bahkan menyebut mereka sebagai pahlawan peradaban. Bukankah itu artinya mereka membantu negara? Maka tidak ada alasan apapun bagi pemerintah untuk tidak memperhatikan mereka.
0 comments