Wawasan Nusantara (harusnya) tidak sekadar bersumber pada buku pelajaran
July 15, 2014
Kali ini saya hendak menyampaikan opini tentang pentingnya wawasan nusantara bagi setiap warga negara, terutama bagi generasi muda. Apa yang akan saya sampaikan ini kiranya sudah banyak disampaikan oleh orang lain, dan mungkin dalam sebuah pemaparan yang lebih komprehensif. Saya hanya akan menyampaikan tentang apa yang ada di kepala saya dalam memandang Indonesia.
Teringat akan kata-kata yang sangat bijak dari seorang petualang legendaris Indonesia, Alm. Soe Hok Gie: “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami mendaki gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar.” Kata-kata Soe itu sangat tepat untuk menyampaikan pesan bagi generasi muda bangsa: pergilah ke seluruh pelosok negeri ini, dan kamu akan merasakan sendiri rasa cinta tanah air itu tumbuh di hatimu.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas sangat kaya akan flora-fauna dan ekosistem yang khas. Sayangnya di sekolah kita hanya bisa melihatnya dari gambar-gambar yang tersaji pada buku-buku pelajaran. Itupun kadang bukan gambar-gambar full color yang menggambarkan kondisi sebagaimana aslinya. Saya kadang tergelitik juga dengan buku-buku literatur yang informasinya kurang berimbang, justru kurang menyampaikan kekayaan yang kita miliki. Misalnya di buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam sering disebutkan contoh-contoh satuan kehidupan mulai dari sel hingga ekosistem, namun contoh yang diberikan adalah sisi kehidupan gurun di Afrika, atau di Amazon, dll.
Padahal kita punya kekayaan alam yang tidak kalah, atau justru lebih kaya dari tempat-tempat lain di bumi ini. Maka tak heran ketika siswa-siswa ditanya, sebutkan contoh top predator di ekosistem!, maka mereka lebih sering menjawab: singa, atau cheetah. Bukan harimau sumatera, atau elang jawa, yang jelas-jelas ada di negeri kita. Saya bukan seorang pendidik, tetapi kiranya saya perlu mengkritisi kurikulum pendidikan kita yang cenderung berorientasi pada teksbook barat, dan masih kurang menyampaikan kekayaan negeri sendiri.
Orang Indonesia mungkin lebih familiar dengan hewan-hewan gurun Serengeti yang biasa muncul di tayangan televisi, ketimbang hewan-hewan hutan tropis kita yang saya kira jauh lebih kaya. Paling-paling hanya hewan-hewan yang terancam punah dari negeri kita, seperti orangutan, bekantan, atau elang jawa, yang kadang turut menghiasi layar televisi. Itupun seringkali merupakan video produksi luar negeri. Kita punya sineas yang sangat banyak, tetapi mengapa kita miskin video tentang hidupan liar yang berkualitas? Itu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.
Video menjadi sumber informasi yang baik untuk mengenal Indonesia. Saya teringat ketika terlibat dalam sebuah produksi video di salah satu pulau terluar (atau saya lebih suka menyebutnya pulau terdepan), yang menemukan ada banyak sekali tema yang bisa kita angkat untuk difilmkan. Mulai dari ekosistem laut, lahan basah, hutan, hingga flora-fauna unik yang sulit atau bahkan tidak bisa dijumpai di tempat lain. Kita harus memproduksi video-video berkualitas, jangan menunggu orang-orang asing yang akan memproduksinya.
Selain biodiversitas, kita juga kaya akan budaya. Coba saja hitung ada berapa suku bangsa, bahasa, hingga adat istiadat yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Ketika Anda pergi ke daerah lain, maka Anda akan merasakan sebuah tata cara yang bisa jadi sangat berlainan dengan tata cara di tempat Anda. Ada sebuah ungkapan menarik: "Jadilah tuan rumah yang baik!". Tetapi untuk menjadi tuan rumah yang baik, Anda harus merasakan pula bagaimana menjadi tamu yang baik.
Mengapa? Dengan menjadi tamu, Anda mengerti apa yang Anda butuhkan dan bagaimana harus menjaga sikap dan perilaku. Dengan begitu, ketika Anda menjadi tuan rumah, Anda akan bisa memahami tamu, dan mengerti bagaimana memperlakukannya dengan baik. Kalau saya tidak salah, hal itu menjadi visi kepariwisataan pada era Pak Jero Wacik menjabat menteri Budpar. Kita tidak hanya diarahkan untuk membuat banyak destinasi wisata, tetapi kita perlu membudayakan untuk berwisata. Saya mencoba memperluas pengertian berwisata itu sebagai kegiatan yang tidak hanya sekadar bersenang-senang, tetapi sekaligus sebagai sebuah perjalanan mencari pengalaman dan pelajaran hidup. Setidaknya untuk mengenal negeri ini lebih dekat.
Jika Soe Hok Gie telah memulainya dengan mendaki gunung, kita hendaknya bisa melanjutkannya. Masih ada banyak alternatif perjalanan-perjalanan lain yang juga akan memberikan pelajaran bagi kita. Wawasan nusantara seperti yang didoktrinkan kala kita duduk di bangku sekolah itu harus diaplikasikan dalam hidup ini. Dimulai dengan bertualang ke berbagai pelosok negeri. Jangan terkendala dengan kecemasan tentang bagaimana mendanai perjalanan-perjalanan itu. Percayalah bahwa jika ada niat pasti ada jalan. Salam Nusantara!
0 comments