Kembali menyapa si matakecil
September 26, 2024Laba-laba matakecil, individu dewasa. Bulan Agustus kemarin, pada puncak musim kemarau - setelah sekian purnama, saya kembali masuk gua alia...
Bulan Agustus kemarin, pada puncak musim kemarau - setelah sekian purnama, saya kembali masuk gua alias caving. Bila dihitung dari penelusuran gua sebelumnya, kurang lebih dua tahun sudah saya vakum. Kalau dirunut lebih lama lagi dari masa-masa aktif, maka sudah sepuluh tahun. Kala itu, tahun 2014 menjadi salah satu tahun teraktif bagi saya sebagai penelusur gua.
Saya memang tidak pernah mendeklarasikan diri untuk pensiun dari dunia perguaan. Apa yang saya cari pada penelusuran bulan kemarin merupakan alasan utamanya. Ialah Amauropelma matakecil, jenis laba-laba obligat gua endemik Pegunungan Menoreh yang bisa dibilang sudah menjadi bagian dari hidup saya. "Matakecil" mestinya jadi nama tengah saya, namun terasa kurang pas karena mata saya yang belo dan sayu ini. Anyway, rasanya ingin terus memberikan kontribusi bagi upaya mengungkap spesies unik tersebut, entah sekecil apapun itu.
Bersama doktor Cahyo Rahmadi, peneliti biota gua dari BRIN sekaligus guru silat caving saya, kami mengeksplorasi dua gua di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo. Misi penelusuran kali ini adalah mengoleksi spesimen untuk kebutuhan riset yang lebih spesifik, dan (kalau beruntung) mendapatkan spesimen jantan dari jenis laba-laba yang hanya diketahui dari individu betina ini.
Si laba-laba endemik nan unik
Laba-laba yang kini mulai akrab dipanggil si matakecil ini pertama kali saya koleksi spesimennya pada tahun 2009, lalu kira-kira tiga tahun setelahnya dipublikasikan menjadi spesies baru dengan nama Amauropelma matakecil (Miller & Rahmadi 2012). Nama matakecil merujuk pada kedelapan mata yang mereduksi ekstrim hingga tampak seperti bintik-bintik kecil. Dengan begitu, laba-laba dengan panjang tak lebih dari satu centimeter ini menunjukkan karakter troglomorfik yang kuat. Troglomorfik ialah karakter yang merepresentasikan tingkat adaptasi tinggi terhadap lingkungan gua, seperti reduksi mata dan depigmentasi.
Laba-laba matakecil tercatat di empat gua saja dan hanya dapat dijumpai di ujung-ujung lorong gua, tepatnya di zona gelap total dengan kondisi klimatis yang relatif stabil (zona stagnan). Habitat yang disukai adalah substrat basah dan udara yang super lembab, biasanya dekat dengan genangan air atau aliran sungai kecil. Populasi laba-laba endemik inipun kemungkinan terbatas, karena biasanya hanya 5-10 individu dapat dijumpai dalam satu kali pengamatan.
Karena karakter troglomorfik yang kuat dan sebarannya yang hanya terbatas di habitat gelap total, laba-laba dengan warna tubuh yang cokelat pucat ini dikategorikan sebagai troglobion. Kelompok biota ini bernilai tinggi bagi ilmu pengetahuan, misalnya dari potensinya menambah khazanah pemahaman kita tentang proses evolusi makhluk hidup. Bagaimana organisme bisa mengembangkan kemampuan adaptasi untuk bertahan dalam lingkungan yang penuh tekanan hingga berkembang menjadi spesies baru, bisa terjawab dengan mempelajari spesies-spesies troglobion.
Habitat spesifik laba-laba matakecil.Tekanan lingkungan di dalam gua yang dimaksud, antara lain: kondisi gelap total, kelembaban yang sangat tinggi, minimnya environmental cues (seperti perubahan siang malam dan perubahan musim yang dijumpai di luar gua), gas-gas mematikan, minimnya nutrien, atau bahkan kondisi becek dan licin yang menyulitkan mobilitas (Howarth 1993). Tekanan lingkungan ditanggapi dengan adaptasi; baik secara morfologis, fisiologis, maupun tingkah laku. Dengan kata lain, tekanan lingkungan merupakan kekuatan evolusioner dalam memunculkan jenis-jenis troglomorf.
Troglobion berevolusi secara progresif dalam mengembangkan organ-organ sensoris seperti pemanjangan antena pada jangkerik, rambut trichobotria pada laba-laba, dan sensor gurat sisi pada ikan. Di lain sisi, kondisi lingkungan yang demikian juga menghasilkan proses evolusi regresif yang ditandai dengan mereduksinya organ-organ yang tidak penting seperti mata dan sayap. Organisme gua juga menunjukkan kecenderungan paedomorf, yaitu mempertahankan bentuk juvenile-nya. Jika spesies yang telah sepenuhnya adaptif tidak lagi ditemukan di lingkungan luar gua, maka proses pemunculan spesies troglobion telah berjalan sempurna.
Fluktuasi tingkat perjumpaan
Tingkat perjumpaan laba-laba matakecil cenderung fluktuatif dari satu survei ke survei lainnya. Pada waktu-waktu tertentu, misalnya saat saya melakukan survei yang sama pada 2014, mereka sangat mudah dijumpai. Sementara pada waktu lain sangat jarang terlihat. Termasuk survei kali ini, tingkat perjumpaannya relatif kecil dibandingkan rata-rata. Saya menduga laba-laba matakecil memiliki habitat persembunyian.
Teori yang mendukung dugaan ini disampaikan Howarth (1993). Ia mengistilahkan habitat spesifik ini sebagai mesocavern, yang merupakan rongga-rongga kecil di dalam gua. Habitat mesocavern yang bisa dijumpai di dalam ekosistem gua meliputi lubang-lubang ataupun retakan-retakan kecil pada dinding dan lantai gua, serta ruang-ruang di balik bebatuan. Merujuk pada definisi yang disampaikan Howarth, ukurannya berkisar antara 0,1 hingga 20 cm. Ukuran yang tidak memungkinkan diakses manusia.
Mesocave menjadi habitat retreat bagi laba-laba. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam persembunyian, dan keluar pada waktu tertentu, dalam rangka makan dan berkembang biak. Kondisi musim kemarau yang relatif kering barangkali membuat laba-laba memilih bersembunyi di lorong-lorong kecil sambil menikmati gorengan. Ruang-ruang kecil menyediakan habitat yang kelembabannya masih terjaga. Diperlukan survei lain pada musim penghujan. Namun, menjadi tantangan tersendiri mengingat aktivitas di dalam gua pada musim penghujan sangat berisiko.
Jika menggunakan definisi dari Howarth, maka ekosistem gua menjadi jauh lebih rumit ketimbang yang bisa kita bayangkan. Tak menutup kemungkinan, lorong-lorong kecil terhubung dengan lorong-lorong lain yang tidak menyediakan akses bagi manusia untuk masuk. Bisa jadi, gua dalam perspektif ekologi itu serupa labirin-labirin yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Sayangnya, sebagian besar dari labirin-labirin itu tidak bisa diakses dan diteliti.
Dengan karakteristik ekosistemnya yang rumit tadi, populasi biota gua menjadi sangat sulit diestimasi. Ternyata tak cuma menjadi kaya yang sulit. Apalagi pada spesies-spesies obligat, yaitu biota yang sepenuhnya bergantung pada ekosistem gua untuk bertahan hidup, seperti laba-laba matakecil. Sebaran atau distribusinya sangatlah terbatas dan seringkali berada di lorong-lorong gua yang sangat sulit diakses, atau bahkan sama sekali tidak terakses.
Lima belas tahun setelah penemuan laba-laba obligat gua dari Menoreh, ternyata masih sedikit sekali yang kita ketahui. Jantannya belum ketemu hingga saat ini. Apakah sudah cukup kita simpulkan saja jenis ini partenogenetik? Bahkan asal-usulnya pun juga masih gelap, mengingat belum ada temuan jenis laba-laba epigean (hidup di ekosistem luar gua) yang berkerabat dekat dengan si matakecil. So, exploration will never end.
Banyak kucing di Kuching?
September 28, 2023Sungai Sarawak dari atas Jembatan Darul Hana Waktu SD, mungkin sekitar kelas V, saya sering banget membuka Peta Atlas Dunia. Selalu tergelit...
Waktu SD, mungkin sekitar kelas V, saya sering banget membuka Peta Atlas Dunia. Selalu tergelitik dengan nama-nama kota yang unik, seperti Lima - ibu kotanya Peru, atau yang lokal ada Palu, nama kota di Sulawesi. Dan, tentu saja, Kuching di Sarawak, Malaysia!
Karena saya lumayan suka dengan kucing, saya jadi bertakon-takon, kenapa kota di Sarawak itu dinamai Kuching? Apa karena banyak kucing di kota itu? Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu menggelitik. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu menguap sendiri seiring berjalannya waktu.
Hingga pada suatu hari di pertengahan bulan kemarin, menjelang tengah malam, saya telah mendarat di salah satu kota yang mengusik pikiran masa kecilku. Welcome to Kuching! Saya menjadi bersemangat kembali untuk menemukan jawaban atas pertanyaan masa kecilku itu.
Seminggu berada di Kuching untuk acara International Primate Society (IPS) Congress bersama kawan-kawan Swaraowa. Di sela-sela agenda, saya berkesempatan mengunjungi destinasi-destinasi menarik di kota ini, mencicipi kuliner-kuliner khasnya, dan merasakan berbagai pengalaman baru.
Kuching adalah kota yang cukup tertata, begitu kesan saya. Jalan-jalan cukup lebar dan mobil-mobil yang lalu lalang relatif tertib meskipun kecepatannya lumayan tinggi terutama di jalan-jalan besarnya. Tak banyak motor di sini, berbeda sekali dengan kota-kota di negara kita.
Satu hal yang menarik perhatian adalah jarang sekali terdengar suara klakson di jalanan. Selama seminggu di Kuching, saya hanya mendengar empat atau lima kali bunyi klakson kendaraan. Beberapa persimpangan memiliki lampu yang merahnya lumayan lama. Namun, para driver tampak sabar dan tertib menunggu sampai lampu hijau menyala.
Merk mobil yang paling banyak adalah Perodua. Ini adalah merk lokal dari Daihatsu. Ada kembaran Agya, Rocky, Ceria, dll. Kembaran Sirion juga cukup sering terlihat. Konon, mobil ini salah satu favorit di Malaysia. Ada yang sekilas mirip Suzuki Karimun, namanya Perodua Kenari. Mobil-mobil lain yang sering berseliweran adalah double cabin: Triton, Hilux, Dmax, dan Navara.
Untuk transportasi umum, Grab dan Maxim menjadi dua penyedia taksi online yang populer di sini. Moda transportasi ini sangat bisa diandalkan. Populasinya banyak dan tersedia sampai larut malam. Bis juga tersedia, namun saya tak sempat mencobanya.
Waterfront jadi destinasi yang banyak dikunjungi pelancong. Ada Jembatan Darul Hana, jembatan khusus pejalan kaki yang memotong Sungai Sarawak buat pejalan kaki. Di sekitarnya banyak bangunan heritage. Area ini memang menarik sekali untuk dijelajahi.
Ada satu penanda yang sangat mencolok saat berada di Waterfront yaitu bendera raksasa yang berkibar di ujung tiang raksasa. Usut punya usut, inilah tiang bendera tertinggi di Asia Tenggara. Terletak di sebelah gedung Dewan Undangan Negeri, tiang ini tingginya mencapai 99 meter.
Toko-toko sudah tutup jam empat sore. Beberapa toko swalayan buka sampai jam 22.00 WK (Waktu Kuching – satu jam lebih cepat dari WIB)). Ada yang 24 jam, tapi jarang. Apalagi di kawasan pinggiran. Begitu pula warung makan, lumayan susah cari warung makan yang buka sampai malam.
Terkait dengan nama Kuching sendiri, ternyata ada beberapa teori. Pertama, sebagian masyarakat Kuching meyakini bahwa itu diambil dari kata “Cochin”, sebuah pelabuhan perdagangan di Pantai Malabar. Kedua, berasal dari nama sungai kecil, Sungai Kuching yang melintasi kota ini. Nah, tapi masih bisa dikejar lagi, kenapa dinamai Sungai Kuching? Ketiga, ada pula yang bilang Kuching berasal dari nama hewan kucing (pusak, dalam nama lokal).
Anyway, patung kucing bisa dijumpai di mana-mana. Di tugu persimpangan, di depan bangunan-bangunan, atau pintu-pintu gang. Ada juga yang dibuat gambar kucing dalam bentuk mural. Bahkan ada Cat Museum juga, lho. Jadi, kucing memang telah menjadi ciri khas Kuching itu sendiri.
Lalu, bagaimana dengan kucing beneran? Saya cuma ketemu dua ekor selama di sana.
Nini tumbu dan etika yang memerdekakan
August 17, 2023Nini Tumbu Hari ini, tanggal 17 Agustus, merupakan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepat pada 78 tahun yang lalu, Ir. Soekar...
Hari ini, tanggal 17 Agustus, merupakan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepat pada 78 tahun yang lalu, Ir. Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta membacakan naskah proklamasi kemerdekaan yang menandai bebasnya bangsa kita dari belenggu penjajahan bangsa lain.
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” demikian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang mencerminkan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia berupa kebebasan atau kemerdekaan kepada setiap bangsa.
Perjuangan masyarakat dunia dalam mewujudkan pengakuan Hak Asasi Manusia sendiri mengalami perjalanan panjang selama ratusan tahun, semenjak Piagam Magna Carta di Inggris (1215) hingga akhirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948. Meskipun pada tataran praktiknya saat ini belum sempurna, namun deklarasi hak asasi manusia merupakan lompatan besar bagi sejarah peradaban manusia.
Pertanyaan selanjutnya adalah, setelah semua manusia di muka bumi mendapatkan jaminan hak asasi berupa hak hidup, kebebasan, maupun kemerdekaan; bagaimana dengan nasib makhluk hidup lain di luar manusia? Apakah mereka pada suatu saat nanti juga akan mendapatkan sebuah pengakuan hak asasi?
Gagasan mengenai hak asasi bagi hewan, tumbuhan, atau bahkan benda-benda abiotik bukanlah tanpa latar belakang yang kuat. Hal ini terkait dengan perilaku manusia yang semakin mendominasi alam, termasuk spesies-spesies hewan dan tumbuhan yang dalam perkembangannya dianggap sekadar sebagai instrumen untuk memenuhi keserakahan manusia.
Paul Taylor, salah satu tokoh etika biosentrisme, mengusulkan untuk menempatkan semua makhluk hidup secara setara. Semua bentuk kehidupan memiliki tujuannya masing-masing. Maka layak diperlakukan secara sama. Puncak dari perjuangan biosentrisme nantinya adalah deklarasi pengakuan Hak-hak Binatang dan Hak-hak Alam. Sebuah gagasan yang mungkin terdengar absurd. Namun, perlu diketahui bahwa gagasan Hak Asasi Manusia di era perbudakan pun juga sesuatu yang dianggap absurd oleh orang-orang pada masa itu.
Untuk memudahkan pemahaman, kita perlu memahami konsep subjek moral (moral subjects) dan pelaku moral (moral agents). Semua organisme hidup, bagi pengikut biosentrisme, adalah subjek moral yang mesti dihormati dan dihargai. Manusia, sebagai spesies yang memiliki kecerdasan tinggi dan memiliki kesadaran (consciousness) sejauh ini dianggap sebagai satu-satunya pelaku moral. Sebagai pelaku moral, maka manusia dituntut untuk tidak melukai, membunuh, ataupun mengusik makhluk hidup lain.
Penggagas deep ecology, Arne Naess, mengistilahkan 'egaliterianisme biosfer'. Maknanya kurang lebih sama yakni memposisikan semua makhluk yang tersebar di alam raya ini setara. All living being have intrinsic value. Setiap makhluk hidup memiliki nilai pada dirinya sendiri, sehingga mesti kita hormati keberadaannya.
Tidak hanya berlaku pada hewan ataupun tumbuhan, etika ini juga berlaku untuk sungai, gunung, bebatuan, dan ekosistem secara luas. Semuanya dihormati dan jangan pernah dirusak. Bukan berarti manusia tidak diperbolehkan memanfaatkan. Menurut Naess, manusia memanfaatkan seperlunya saja untuk keberlanjutan hidup. Inilah salah satu prinsip dasar deep ecology. Sifatnya ekosentris, menempatkan kepentingan ekosistem luas di atas kepentingan manusia.
Dalam paradigma ekologi modern, manusia dianggap bagian dari ekosistem itu sendiri. Fritjof Capra dalam buku The Web of Life mengusulkan prinsip-prinsip kehidupan yang perlu kita pahami: interdependensi (saling keterkaitan antara komponen ekosistem), daur ulang (ada siklus energi), kemitraan (saling kerja sama antar makhluk), fleksibilitas (resiliensi), dan keanekaragaman. Capra menyodorkan gagasan masyarakat berkelanjutan, yaitu masyarakat melek ekologi dan menjalani kehidupan selaras dengan prinsip dan hukum alam. Memerdekakan makhluk hidup di luar manusia merupakan bagian dari jalan hidup berkelanjutan.
Brayan urip: biosentrisme ala masyarakat Nusantara?
Di Desa Mendolo, Kabupaten Pekalongan, salah satu desa hutan di Pegunungan Dieng bagian utara yang masyarakatnya masih sangat dekat dengan hutan, saya mendengar konsep ‘brayan urip’. Berasal dari kata brayan: rumah tangga, dan urip: hidup. Kira-kira arti harafiahnya hidup berumah tangga, atau hidup bersama-sama. Istilah brayan urip ini tidak hanya digunakan untuk kehidupan berumah tangga (berkeluarga bagi manusia), namun digunakan secara luas baik dalam hubungan sosial bermasyarakat sesama manusia, maupun hubungan dengan alam.
Pada konteks luas, brayan urip bisa diartikan hidup bersama, berbagi dengan sesama makhluk hidup di dalam ruang hidup yang sama. Sekali lagi, tidak hanya kepada sesama manusia, namun kepada semua makhluk dalam jagad raya ini. Sebagai sebuah etika, brayan urip mengajarkan manusia untuk menghargai, menghormati makhluk hidup lain baik itu pohon-pohon, binatang-binatang, atau bahkan benda-benda abiotik.
Di Mendolo, kita masih bisa menjumpai pohon-pohon besar seperti kayu babi, kayu sapi, sarangan, bendo, pucung/keluwek, terutama di bantaran sungai atau alur-alur kecil. Pohon-pohon berukuran raksasa itu memang sengaja dibiarkan hidup karena sudah dianggap sebagai brayan urip tadi.
Saya jadi ingat beberapa waktu lalu berbincang dengan kawan-kawan Mendolo tentang laba-laba 'nini tumbu'. Laba-laba dari Marga Gasteracantha ini sangat umum dijumpai di hutan dan kebun. Mereka yang bisa dikenali dari punggungnya bergerigi itu membangun jaring di antara pepohonan. Saking akrabnya masyarakat dengan si laba-laba ini, dijadikanlah ia sebagai inspirasi cerita dongeng.
Kita bisa menemukan banyak sekali cerita, dongeng, tetembangan yang mengambil inspirasi dari hewan dan tumbuhan yang berkembang di masyarakat. Hal itu membuktikan bahwa nenek moyang kita sangat dekat dengan alam, dan memposisikan alam sebagai mitra dalam menjalani kehidupan. Praktik wanatani agroforestri ala masyarakat perdesaan sudah cukup kuat untuk membuktikanya. (Baca tulisan saya tentang agroforestri).
Para petani hutan Mendolo (dan saya yakin juga di banyak tempat lain) menempatkan banyak spesies hewan dan tumbuhan hutan sebagai makhluk brayan urip. Makhluk-makhluk itu dimerdekakan, dihormati, dihargai, atau minimal tidak diusik. Lalu apa manfaatnya? Di sinilah letaknya wisdom (kearifan). Tak perlu mempertanyakan manfaatnya apa, karena semua pernghargaan itu muncul begitu saja dari dalam diri. Karena welas asih, atau adanya keyakinan bahwa binatang atau tumbuhan juga bisa merasakan sakit jika dilukai, misalnya.
Saya yakin bahwa konsepsi brayan urip (atau yang sejenisnya) ini merupakan etika masyarakat Nusantara yang sudah muncul jauh sebelum gagasan biosentrisme maupun ekosentrisme modern. Barangkali, brayan urip ini merupakan bentuk adaptasi hidup dalam keanekaragaman hayati yang tinggi dan adanya kesadaran mengenai kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain (interkoneksi).
Brayan urip sebagai produk wisdom masyarakat Nusantara dan masih dipraktikkan oleh sebagian masyarakat di perdesaan perlu digali kembali dan dikembangkan sebagai panduan hidup berkelanjutan sebagaimana yang juga digagas Capra. Sekali lagi, wisdom bukan untuk dipertanyakan nilai instrumentalnya, cukup dihayati dan diejawantahkan dalam praktik kehidupan.
Satu lagi, bangsa kita ternyata telah menawarkan konsep kemerdekaan yang sangat canggih sejak lama. Merdeka!
-SH
Konservasi berbasis masyarakat ala Wanapaksi
June 14, 2023Berbicara mengenai keanekaragaman hayati (kehati), saya meyakini bahwa desa memiliki posisi yang strategis. Menurut data KLHK dan BPS, ada l...
Berbicara mengenai keanekaragaman hayati (kehati), saya meyakini bahwa desa memiliki posisi yang strategis. Menurut data KLHK dan BPS, ada lebih dari 31 ribu desa yang berada di dalam kawasan hutan atau berbatasan langsung dengan hutan. Jumlah itu hampir separuh dari seluruh desa di Indonesia. Desa-desa di luar kawasan hutan pun bukan berarti tak potensial dari sisi kehatinya. Pada umumnya, kawasan perdesaan masih menyimpan habitat-habitat yang cenderung lebih bisa mendukung kehati dibandingkan dengan perkotaan. Sebagai reservoir kehati yang penting, kiranya perlu strategi yang tepat untuk mengelola desa-desa di negeri ini.
Salah satu strategi yang menurut saya bisa diambil dalam pengelolaan keanekaragaman hayati desa adalah melalui konservasi berbasis komunitas (community based conservation). Saya akan menyingkatnya sebagai "CBC". Secara sederhana, kita bisa mendefinisikannya sebagai upaya pelestarian dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang mengajak sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif.
CBC sendiri telah muncul menjadi wacana global pada Kongres Taman Nasional Sedunia pada Oktober 1982, di Bali. Kemunculannya sejalan dengan perubahan konseptual dalam ilmu ekologi, antara lain: pergeseran dari paradigma mekanistis-reduksionistis ke pandangan holistik-sistemis, dari ekologi berbasis kepakaran beralih ke bentuk partisipatif, dan dimasukkannya manusia dalam konsep ekosistem. Meskipun CBC telah mengalami sejarah panjang, namun masih banyak pihak meragukan efektivitasnya.
Kali ini saya mencoba untuk merangkum beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari satu kelompok masyarakat yang berkiprah di ujung barat Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kalurahan Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo. Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi, namanya. Kelompok ini didirikan pada akhir tahun 2018 oleh beberapa warga yang mayoritas merupakan para mantan pemburu burung. Didukung oleh kebijakan pemerintah desa yang telah menerbitkan Peraturan Desa dan pendampingan dari beberapa NGO, Wanapaksi memopulerkan Jatimulyo sebagai “Desa Ramah Burung”.
Implementasi konsep desa ramah burung sendiri lumayan beragam, di antaranya: pelaksanaan aturan hukum (perdes) terutama yang terkait dengan perlindungan burung, riset-riset partisipatif, pemanfaatan burung tanpa menangkap (misalnya melalui ekowisata), hingga beragam gerakan edukasi dan kampanye.
Melalui gerakan desa ramah burung ini, Jatimulyo berhasil menekan angka perburuan. Peraturan desa yang didukung dan dikawal oleh masyarakat luas menjadi kekuatan besar untuk perlindungan jenis-jenis burung di Jatimulyo yang jumlahnya lebih dari 100 spesies. Di sisi lain, muncul ekowisata sebagai alternatif pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan. Gerakan yang dimotori Wanapaksi ini telah menginspirasi banyak desa-desa lain untuk melakukan hal yang sama.
Menurut saya, Wanapaksi dan konsep desa ramah burung yang diusungnya ini layak dijadikan model/contoh CBC. Untuk itulah saya mencoba merangkum poin-poin pembelajaran dari CBC ala masyarakat Jatimulyo tersebut. Rangkuman ini tentu saja masih sangat dangkal. Namun begitu, saya berharap bisa menjadi pemantik parapihak untuk mengelaborasi secara lebih mendalam.
Pembelajaran mengenai keberlanjutan konservasi berbasis masyarakat (CBC) yang dijalankan Wanapaksi, antara lain: Pertama, proses penyadaran. Gerakan perubahan apapun mesti bermuara pada transformasi sosial. Begitupun dengan pelestarian alam/konservasi. Gerakan konservasi mesti berupaya memperbaiki paradigma (cara pandang) masyarakat terlebih dahulu. Perubahan paradigma inilah modal utama untuk terjadinya transformasi sosial-budaya masyarakat ke arah berkelanjutan. Perubahan yang sifatnya fundamental.
CBC harus mampu mengubah paradigma dan perilaku komunitas masyarakat dari pola-pola tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Gerakan konservasi jangan sampai terjebak logika mekanistis-reduksionistis yang menganggap masyarakat hanya sebagai objek-objek atau dianalogikan sebagai mesin-mesin yang bisa dikendalikan secara programatik. Pada hakikatnya, kita semua adalah subjek-subjek yang punya “kehendak bebas”. Sebagai subjek-subjek berkehendak bebas, proses penyadaran memerlukan dialog yang terus-menerus yang bisa membangun kesadaran kritis, sebuah kondisi yang hanya bisa dicapai dengan proses-proses reflektif individu per individu sebagai subjek-subjek.
Pada konteks Jatimulyo, proses penyadaran masyarakat berjalan melalui interaksi antara masyarakat dengan para pengamat burung, peneliti, akademisi, pemerhati lingkungan, fotografer satwa liar yang telah mulai berdatangan ke Jatimulyo sejak awal 2000-an. Melalui interaksi itulah terjadi dialog-dialog yang mampu menggeser paradigma masyarakat sedikit demi sedikit. Terbitnya aturan hukum berupa Perdes 08 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup menandai puncak kesadaran itu.
Kedua, proses penyadaran harus diikuti dengan pengorganisasian. Sebaik-baiknya ide, gagasan, atau niat tidak akan mengubah apapun tanpa mengorganisir orang. Arne Naess, penggagas "ekologi dalam" (deep ecology), juga menekankan bahwa paradigma dan perilaku berkelanjutan tidak boleh berhenti pada individu saja, namun harus menjadi budaya yang diterima secara komunal. Berdirinya Wanapaksi menjadi contoh bagaimana upaya penyadaran diikuti dengan pengorganisasian masyarakat. Wanapaksi sebagai sebuah lembaga berfungsi sebagai poros gerakan.
CBC pada prinsipnya mengajak sebanyak mungkin anggota sebuah komunitas masyarakat. Dalam pengorganisasian ada pembagian tugas atau peran. Keterlibatan anggota komunitas bisa saja disesuaikan dengan kelompok umur (boomers, gen x, gen y, gen z, gen alpha), maupun kelompok gender. Setiap kelompok umur maupun gender perlu diberikan ruang seluas-luasnya untuk berpartisipasi. Dengan demikian, lembaga atau kelompok beserta gerakan yang diusungnya benar-benar menjadi milik semua kalangan.
Dilihat dari kecenderungan keaktifan, partisipasi anggota Wanapaksi kira-kira sebagai berikut: kalangan mantan pemburu (usia 30-50) banyak terlibat dalam program adopsi sarang dan usaha wisata; generasi muda (<30 tahun) banyak berkecimpung dalam program wisata, riset, edukasi, kampanye; kaum perempuan aktif dalam pengembangan homestay dan kuliner; sedangkan kalangan senior (>50 tahun) memelopori kegiatan seni budaya.
Ketiga, ada sistem yang efektif dan efisien di dalam organisasi. Gunanya sebagai mekanisme pemecahan masalah, mempermudah kerja, dan untuk menjamin adanya distribusi manfaat yang berkeadilan. Saya kira ada satu kunci keberhasilan pengorganisasian kelompok atau lembaga masyarakat yang sangat sederhana namun penting: pertemuan rutin kelompok. Wanapaksi dengan jumlah anggota sekitar 50 orang mampu bertahan selama lima tahun dan terus bertumbuh karena konsisten mengadakan pertemuan rutin tiap bulannya. Melalui pertemuan rutin inilah dinamika organisasi bisa dikelola dengan baik.
Selain itu, Wanapaksi membangun sistem organisasi yang mengedepankan demokrasi, mengelola administrasi secara transparan, serta memberi ruang untuk tumbuhnya inovasi. Kepemimpinan dipilih secara demokratis dan masa jabatannya dibatasi. Anggota yang dalam periode waktu tertentu tidak aktif atau tidak menjalankan kewajibannya, maka dianggap keluar.
Manfaat ekonomi dari kegiatan-kegiatan usaha seperti adopsi, wisata, dan kuliner didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Semuanya telah diatur secara sistematis. Berlaku juga sistem penggiliran untuk penjualan jasa homestay dan jasa kelompok kuliner. Dengan adanya sistem, peluang munculnya permasalahan di dalam kelompok bisa diantisipasi sehingga para anggotanya bisa fokus pada hal-hal yang sifatnya strategis. Intinya, ada efektivitas dan efisiensi.
Keempat, pentingnya riset. Komunitas pengusung CBC perlu giat melakukan riset dalam berbagai bidang. Riset menjadi penopang utama gerakan konservasi yang diusung. Dengan adanya riset, kelompok atau komunitas masyarakat bisa terus memunculkan inovasi baru dalam praktik-praktik konservasi yang dijalankan. Riset juga menjadi dasar pertimbangan untuk pengembangan peluang ekonomi, maupun sosial-budaya masyarakat.
Riset-riset membutuhkan bantuan teknis dan peralatan. Pengetahuan tradisional yang telah dimiliki masyarakat dipertemukan dengan pengetahuan ilmiah bisa menghasilkan kombinasi yang baik. Banyak sekali pengetahuan tradisional yang perlu dikuantifikasi sehingga bisa diterima oleh dunia akademis. Maka, ketersediaan paket metode saintifik, alat-alat penunjang, dan pendampingan menjadi sangat penting. Tak kalah penting, hasil-hasil riset ini mesti diolah menjadi paket-paket pengetahuan baru sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siapa saja yang membutuhkan.
Kelima, komunitas perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Kolaborasi menjadi kunci penting agar gerakan yang diusung oleh komunitas menjadi kekuatan yang terus tumbuh membesar. Pihak-pihak yang perlu diajak bekerja sama meliputi instansi pemerintahan, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi non-pemerintahan, media, dan komunitas-komunitas lain yang mengusung gerakan senada.
Pihak-pihak di luar komunitas masyarakat bisa membantu dalam hal pendanaan, transfer paket-paket pengetahuan, teknologi penunjang yang bisa membantu riset maupun operasional bagi komunitas, maupun membuka jejaring. Pada konteks Jatimulyo, banyak pihak telah membantu pula dalam memasarkan produk dan jasa (ekowisata) yang ditawarkan oleh komunitas.
Keterlibatan perempuan
Saya merasa perlu menekankan aspek gender sebagai penutup tulisan singkat ini. Saya melihat keterlibatan kaum perempuan dalam gerakan-gerakan masyarakat memiliki arti yang sangat penting. Terlebih dalam bidang konservasi alam.
Maskulinitas identik dengan persaingan, dominasi, eksploitasi, bahkan bisa berujung penindasan. Di sisi lain, feminitas adalah kedamaian, kasih, kebersamaan, dan kerjasama. Ideologi patriarki (maskulinitas) yang selama ini sangat mendominasi gerakan konservasi, tampaknya belum berhasil (kalau bukan gagal) meredam kerusakan lingkungan.
Maka, alternatifnya adalah menyediakan ruang yang cukup bagi feminitas untuk masuk ke dalam gerakan konservasi. Dalam diskursus gender sekaligus konservasi alam dewasa ini, telah muncul apa yang disebut ekofeminisme yang menempatkan perempuan (dengan feminitasnya) sebagai poros utama gerakannya. Sayangnya, gerakan ini belum begitu populer.
Pada skala komunitas, strategi jangka pendek yang bisa diambil adalah dengan cara mendorong keterlibatan perempuan secara terstruktur dan terorganisir. Sesederhana memberikan ruang eksistensi dalam bidang-bidang yang identik gender perempuan seperti kuliner, keuangan, hospitality sebagaimana yang dilakukan Wanapaksi. Selanjutnya, secara bertahap mendorong transformasi yang lebih radikal dengan cara memberikan peran-peran yang lebih besar bagi kaum perempuan.
Ke depan, perlu semakin banyak perempuan yang memegang posisi lebih strategis dan dalam skala yang lebih luas, terutama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Ingat, planet kita ini disebut-sebut sebagai ibu bumi, bukan bapak bumi.
Salam Lestari!
*Foto (Dok. KTH Wanapaksi):
1. KTH Wanapaksi hidupkan kembali kesenian rondha thek-thek
2. Pendidikan lingkungan bagi anak-anak menjadi salah satu fokus Wanapaksi
3. Kiprah kaum perempuan Wanapaksi